Kota Merah Marrakech. |
Sejumlah kota di Maroko bertema warna tertentu. Salah satunya Marrakesh, kota berjuluk Madinatul Hamro yang berarti kota merah.
Keluar dari bandara Menara, Marrakesh, Senin (19/10/2015) gerimis menyambut, tapi panas matahari tetap menyengat. Dari informasi petugas bandara, cuaca di Marrakesh belakangan ini masih cukup hangat dengan suhu udara berkisar 21-31 derajat celcius.
Keluar dari bandara Menara, Marrakesh, Senin (19/10/2015) gerimis menyambut, tapi panas matahari tetap menyengat. Dari informasi petugas bandara, cuaca di Marrakesh belakangan ini masih cukup hangat dengan suhu udara berkisar 21-31 derajat celcius.
Lima menit pertama menuju perkampungan, saya langsung disodori bangunan-bangunan dengan warna seragam: merah terakota. Juga bangunan-bangunan berbentuk balok atau kubus, sebagian dengan jendela, sebagian lainnya tidak. Tingkat satu, dua atau tiga. Tidak ada bangunan tinggi apalagi gedung pencakar langit. Kemudian saya ketahui, hotel-hotel juga luas mendatar, bukan menjulang tinggi.
Warna merah tetap mendominasi pemandangan sepanjang jalan. Bahkan trotoar juga berwarna merah. Benteng, gedung kubus dan balok tak berubah.
“Kami memang dikenal sebagai Kota Merah, juga negeri seribu benteng,” kata Hajar Bourquouquou, LO yang bertugas di acara Danone Nations Cup di Maroko pertengahan Oktober lalu.
Marrakesh juga mendapatkan julukan sebagai Negeri Maghribi, negeri terbenamnya matahari.The Land of God, Tanah Tuhan, menjadi sebutan lainnya.
Pernahkah membaca novel Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma? SGA memang secara jelas menyebut negeri yang dimaksudnya memang tak ada di dunia ini, tapi hampir semua ciri yang disebutkan dia begitu identik dengan Marrakesh. Gurun pasir, senja dengan matahari yang hangat, minuman khas dengan daun mint, komunikasi dengan bukan bahasa dunia, juga tentang penginapan tokoh si Aku yang berada di sebuah bilik kotak dengan jendela yang mungil.
Lonely Planet memasukkan Maroko sebagai salah satu negara yang wajib dikunjungi tahun 2015 ini. Dan Marrakesh menjadi salah satu kota yang dirujuk selain ibukota negara, Rabat, dan Casablanca.
Poin kunjungan itu karena di bulan Januari dan Februari, Maroko menjadi tuan rumah gelaran Piala Afrika. Meski dalam perjalanannya ajang itu gagal dihelat di negara yang berada di ujung utara Afrika itu. Malah, mereka dibayangi denda dari FIFA. Selain dinilai tak mampu, virus Ebola juga menjadi isu santer batalnya pelaksanaan Piala Afrika di sana.
Ketiga kota itu memang menjadi tujuan wisata utama Maroko. Dibanding dua kota lainnya -Rabat dan Casablanca- Marrakesh mempunyai keistimewaan sebagai kota yang masih kental menyimpan kultur dan sejarah bangsa Berber lewat arsitektur bernuansa Islam.
Marrakesh mempunyai distrik medina (kota) yang dikelilingi benteng yang dibangun di abad ke-11. Benteng masih kokoh berdiri dan kehidupan di medina setia dengan kultur lawasnya. Karena terus berkembang muncullah area modern yang biasa disebut Gueliz.
Pesona gurun sahara di musim panas juga menjadi iming-iming lainnya. Selain itu, ada kota-kota lain dengan tema warna tertentu. Di samping Marrakesh yang jadi kota merah, ada Chefchaouen yang bertema serba biru dan Casablanca yang serba putih.
Tapi untuk kunjungan bulan ini, siap-siap berjumpa dengan musim dingin ya. Perbedaan waktu dengan WIB juga kembali ke tujuh jam.
Hal lain yang cukup mengasyikkan kita disuguhi perpaduan budaya Arab, Prancis dan Afrika. Soal bahasa, hampir semua penduduk penguasai Arab dan Prancis. Di kawasan wisata dan sopir taksi, bahasa Inggris mulai popular.
Para pelancong muslim tak perlu khawatir, makanan halal sangat mudah didapatkan. Ya, mayoritas penduduk Marrakesh beragama Islam. Negara ini menjadi pintu gerbang masuknya negara Islam ke Eropa di abad 13. Ukuran mata uang juga tak semahal Eropa. 1 dirham Maroko setara dengan Rp 1.400 sampai 1.500.
EmoticonEmoticon